Kamis, 24 Februari 2011

ROKOK DAN KEMISKINAN DI INDONESIA


Data profil tembakau Indonesia tahun 2008 menunjukkan bahwa belanja rokok rumah tangga perokok di Indonesia menempati urutan nomor 2 (10,4%) setelah makanan pokok padi-padian (11,3%), sementara pengeluaran untuk daging, telur dan susu besarnya rata-rata (2%). Pengeluaran untuk rokok adalah lebih dari 5 kali lipat pengeluaran untuk makanan bergizi. Dilihat dari proporsi total pengeluaran bulanan, belanja rokok lebih dari 3 kali pengeluaran untuk pendidikan (3,2%) dan hampir 4 kali lipat pengeluaran untuk kesehatan (2,7%).

Penelitian Indonesian Forum Parliamentarians for Population and Development (IFPPD) melaporkan, 2 dari 3 ayah di Indonesia mengkonsumsi rokok. Ironisnya, lembaga ini memperkirakan, sebanyak 12 juta ayah dari 19 juta keluarga miskin adalah perokok.

Hasil Susenas tahun 1995, 2001, dan 2004 menunjukan proporsi pengeluaran rokok masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi terendah, lebih tinggi proporsinya dibandingkan dengan tingkat sosial ekonomi tertinggi. Tahun 1995 (6,1 : 4,9), tahun 2001 (9,1 : 7,5), dan tahun 2004 (10,9 : 9,7). Hasil penelitian Dell at all (2005) menyampaikan bahwa pria pada rumah tangga miskin dan tidak memiliki telpon dan warga dengan pendidikan lebih rendah cenderung merupakan perokok. Hal senada dilaporkan WHO bahwa jumlah perokok paling banyak berasal dari kalangan masyarakat miskin. Di Madras, India mayoritas perokok justru dari kelompok masyarakat buta huruf. Hasil riset lainnya membuktikan, kelompok masyarakat termiskin di Bangladesh menghabiskan 10 kali lipat penghasilannya untuk tembakau dibandingkan untuk kebutuhan pendidikan. Lalu penelitian di 3 provinsi Vietnam menemukan, perokok menghabiskan 3,6 kali lebih banyak untuk tembakau dibandingkan untuk pendidikan 2,5 kali lebih banyak untuk tembakau dibandingkan dengan pakaian, dan 1,9 kali lebih banyak untuk tembakau dibandingkan untuk biaya kesehatan (Majalah Ummi, Maret 2008). Sementara itu hasil penelitian dari Lawror et all (2003) menyampaikan bahwa pada kelompok kurang beruntung, merokok seringkali merupakan kenikmatan dan merupakan cara untuk mengatasi masalah, mengatasi kehidupan yang penuh tekanan. Hasil penelitian dari Jefferis Barbara et all (2004) menyampaikan bahwa individu dari latar belakang pekerja manual cenderung lebih banyak merokok dan cenderung tidak berhenti merokok dibandingkan pekerja non manual. Selain itu pekerja manual berisiko 28 persen merokok lebih besar dari pada pekerja profesional.

Masalah merokok merupakan masalah yang serius karena menyangkut berbagai aspek, yaitu: aspek kesehatan, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kebiasan merokok telah terbukti berhubungan dengan sedikitnya 25 jenis penyakit dari berbagai alat tubuh manusia, seperti kanker paru, bronkitis kronik, emfisema dan berbagai penyakit paru lainnya (Aditama, 1997). Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan kimia yang berbahaya. Asap satu batang rokok mengandung 4.000 bahan kimia yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Levinthal, 1996). Peningkatan jumlah perokok akan sangat membahayakan status kesehatan masyarakat di masa depan. Status kesehatan yang menurun akibat dampak merokok dapat meningkatkan kemungkinan terkena berbagai jenis penyakit yang dapat menurunkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia.

Selain itu, merokok akan menciptakan beban ganda yang harus ditanggung, karena merokok akan mengganggu kesehatan sehingga akan lebih banyak lagi biaya yang dikeluarkan untuk mengobati penyakitnya.

WHO memperkirakan tingkat kematian dunia akibat konsumsi rokok pada tahun 2030 akan mencapai 10 juta orang setiap tahunnya dan sekitar 70% terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004 (Depkes, 2006) secara nasional dilaporkan bahwa penduduk 15 tahun ke atas yang mempunyai kebiasaan merokok tercatat sebanyak 34,44%, terdiri dari merokok setiap hari 28,35% dan kadang-kadang 6,09%. Proporsi perokok pemula usia 15-19 tahun proporsinya meningkat dari 58,9% pada tahun 2001 menjadi 63,9% pada tahun 2004. Proporsi perokok pemula usia 10-14 tahun meningkat dari 9,5% pada tahun 2001 menjadi 11,5% pada tahun 2004. Sedangkan proporsi perokok pemula usia 5-9 tahun meningkat dari 0,4% pada tahun 2001 menjadi 1,8% pada tahun 2004. Beberapa alasan mengapa seseorang merokok, antara lain ingin tahu atau coba-coba, ingin dianggap dewasa atau macho, pengaruh lingkungan atau tekanan kelompok, dan korban iklan.

Sementara itu, di Indonesia diperkirakan rakyat Indonesia setiap tahunnya membakar uang untuk merokok senilai Rp 120 triliun dan diperkirakan pada tahun 2008 ini pemerintah bisa meraup penghasilan cukai dari rokok sekitar Rp 44 triliun (Thabrany, 2008). Pada tahun 2005, Kosen melakukan estimasi penghitungan biaya akibat konsumsi tembakau sebesar Rp 167,1 triliun. Jumlah tersebut adalah sekitar 5,1 kali lipat lebih tinggi dari pemasukan cukai sebesar Rp 32,6 triliun pada tahun 2005. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Masnah Sari menyampaikan bahwa dari segi pemasukan keuangan negara memang diakui pemasukan cukai rokok untuk keuangan negara menyumbang dana yang cukup besar. Tapi dibandingkan kerusakan moral dan kesehatan anak bangsa, bangsa ini akan lebih rugi jika terus membiarkan rakyat mengkonsumsi rokok (Pelita, Rabu 23 Januari 2008).

Kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi rendah yang patut mendapat perhatian dalam bidang kesehatan asalah satunya adalah pekerja sektor informal. Saat ini proporsi pekerja sektor informal terus meningkat sebagai dampak dari globalisasi dan tidak cukup signifikannya penyerapan tenaga kerja formal (Akatiga, 2003). Kesempatan kerja di sektor formal semakin terbatas, harus diperebutkan oleh para pencari kerja yang setiap tahunnya semakin meningkat. Tekanan untuk memperebutkan lapangan kerja, diyakini akan semakin menguat dengan dikeluarkannya kebijakan kenaikan BBM. Dengan kondisi yang demikian, tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja formal akan memasuki sektor informal (BPS, 2005).

Diperkirakan jumlah pekerja sektor informal besarnya sekitar 64 % dari angkatan kerja (Labour Force Situation in Indonesia, 2003). Keberadaan sektor informal memberikan kontribusi yang besar di bidang ekonomi khususnya dalam hal lapangan kerja. Sektor informal dapat berfungsi menjadi katup pengaman penyediaan lapangan kerja, terutama bagi mereka yang mempunyai keterampilan marjinal, dan membutuhkan sumber nafkah untuk tetap dapat bertahan hidup. Sektor informal dapat menjadi sumber pendapatan keluarga sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat (Committee on Poverty Reduction, 2006). Sementara itu pekerja sektor informal umumnya belum tersentuh oleh aturan dan belum banyak mendapat pembinaan dari pemerintah.

Salah satu pekerja sektor informal yang saat ini menjadi alternatif pilihan masyarakat dalam mencari nafkah adalah tukang ojek. Menjadi tukang ojek tidak memerlukan keahlian khusus dan cukup sederhana dalam prosesnya. Hanya bermodalkan keahlian mengendarai sepeda motor, maka seseorang sudah bisa menjadi tukang ojek dan dapat bekerja untuk menafkahi keluarganya. Oleh sebab itu tukang ojek menjadi salah satu alternatif baru pekerjaan jasa di bidang transportasi yang saat ini jumlahnya semakin banyak.

Hasil penelitian yang dilakukan Bambang Setiaji (2007) terhadap 108 tukang ojek menunjukkan bahwa 85 % tukang ojek mempunyai kebiasaan merokok. Angka ini 20 % lebih tinggi dibanding prevalensi merokok laki-laki dewasa nasional tahun 2004 yaitu sebesar 63,1% (Susenas, 2004). Rata-rata jumlah rokok yang dihisap tukang ojek adalah 11 batang rokok perhari, dengan rata-rata pengeluaran untuk rokok perhari mencapai Rp 7.500,-. Sebagian besar tukang ojek yaitu sebesar 85% pernah mengalami kesulitan uang untuk berobat. Mereka mencari uang untuk berobat dengan cara meminjam (39%), meminta bantuan saudaranya (37%), menjual barang/harta (17%), dan minta kartu SKTM (7%). Hampir semua tukang ojek yaitu 97% merasa khawatir bila suatu saat mereka sakit. Menurut sebagian besar mereka (73%) kekhawatiran yang timbul adalah tidak punya uang dan hilangnya kesempatan mencari nafkah. Sebagian besar tukang ojek (86%) mengatakan bila sakit akan mengganggu pekerjaan sehari-harinya, kurang lebih selama 4 hari. Perkiraan rata-rata kehilangan pendapatan selama sakit kurang lebih Rp 83.000,-

Bagi sebagian besar masyarakat dengan sosial ekonomi rendah, pengeluaran biaya rokok sebenarnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya seperti memenuhi kebutuhan gizi, memenuhi biaya pendidikan dan memenuhi biaya kesehatan anggota keluarganya.

Seyogyanya kebijakan penanggulangan masalah merokok dapat lebih diprioritaskan kepada kelompok ini.

dari Infeksi.com

by DEZH

Tidak ada komentar:

Lintas Berita

Selamat datang di blog kami, anda adalah pengunjung yang ke

SELAMAT DATANG diwilayah

INFORMATIKA, KESEHATAN, JURNAL ILMIAH,
PENGEMBANGAN DIRI, MOTIVASI, DESA KEDATON